AR-RISALAH BAB 24:KEHENDAK (IRADAH)

وَلَا تَطۡرُدِ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجۡهَهُ ۥ‌ۖ مَا عَلَيۡكَ مِنۡ حِسَابِهِم مِّن شَىۡءٍ۬ وَمَا مِنۡ حِسَابِكَ عَلَيۡهِم مِّن شَىۡءٍ۬ فَتَطۡرُدَهُمۡ فَتَكُونَ مِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ 

Dan janganlah engkau usir orang-orang yang beribadat dan berdoa kepada Tuhan mereka pagi dan petang, sedang mereka menghendaki keredaanNya semata-mata. Tiadalah engkau bertanggungjawab sesuatu pun mengenai hitungan amal mereka, dan mereka juga tidak bertanggungjawab sesuatu pun mengenai hitungan amalmu. Maka (sekiranya) engkau usir mereka, nescaya menjadilah engkau dari orang-orang yang zalim. (An-Anaam: 52)

Diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah saw telah mengatakan, “Jika Allah mengkehendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan memanfaatkannya.” Seseorang bertanya, “Bagaimana Dia memanfaatkannya, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Dia akan menganugerahkannya keberhasilan dalam melaksanakan amal kebajikan sebelum dia mati.”

Kehendak adalah permulaan jalan penempuh dan tahap nama (maqam) yang pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju Allah SWT. Sifat ini disebut “kehendak” (iradah) hanya kerana kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa sehingga jika seorang hamba tidak mengkehendaki sesuatu, dia tidak akan melakukannya. Manakala hal ini terjadi di awal jalan, ia dinamai “kehendak” dengan dikiaskan kepada niat yang mendahului semua persoalan.

Mamsyad Al-Dinawari menuturkan, “Sejak aku mengetahui bahawa semua keadaan sufi adalah sangat serius, maka aku tidak pernah lagi bergurau dengan mereka. Suatu ketika seorang sufi datang kepadaku dan berkata, “Wahai syeikh, saya berkehendakkan agar anda mencarikan saya sedikit bubur manis.”Lalu dengan main-main aku mengulang-ngulang kata-kata iradah (kehendak) dan ‘asidah (bubur). Sufi itu mengundurkan diri, tapi aku belum menyedarinya. Aku memesan bubur dan mencari-cari si sufi, tapi tidak dapat menemukannya. Ketika aku tertanya-tanya tentang dia, orang-orang mengatakan kepadaku, “Dia pergi dengan segera sambil berkata-kata, “Iradah, ‘asidah, iradah, ‘asidah.” Dia mengembara tanpa tujuan sampai masuk ke padang pasir sambil terus mengatakan kata-kata itu sampai dia meninggal.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menyatakan, “Kehendak adalah keterpesonaan hati yang menyakitkan, sengatan dalam hati, hasrat yang membara dalam indera intuisi, keinginan yang menyala-nyala dalam batin, dan api yang membakar di dalam hati.”

Yusuf bin Al-Husain menuturkan, “Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abi Al-Hawari mengadakan kesepakatan bahawa Ahmad akan mematuhi perintah Abu Sulaiman dalam semua hal. Pada suatu hari, dia menemui Abu Sulaiman ketika beliau sedang memberikan kuliah kepada siswa-siswanya. Ahmad melaporkan, “Tempat pembakaran roti telah menyala, apa perintahmu?” Abu Sulaiman tidak menjawab pertanyaannya. Ahmad mengulangi pertanyaannya sebanyak 3 kali, hingga akhirnya Abu Sulaiman berkata, seolah-olah jengkel kepadanya, “Masuk sahajalah engkau ke dalamnya!” Lalu sejenak dia lupa akan Ahmad. Ketika dia ingat, segera dia memerintahkan, “Lekas jemput Ahmad. Dia ada di dalam tempat pembakaran roti sebab dia telah bersumpah akan mematuhi setiap perintahku.”Maka orang-orang pun pergi mencari Ahmad, dan mereka menemukannya di dalam tempat pembakaran roti , tanpa sehelai rambut pun.”

Di antara tanda-anda seorang murid adalah bahawa dia senang melaksanakan solat sunat, tulus dalam mendoakan kebaikan bagi ummat, terpaut kepada situasi yang penuh ketenangan, sabar dan tabah dalam memenuhi ketentuan agama, memberikan sedekah dengan penuh kemurahan hati sesuai dengan perintah-Nya, memiliki rasa malu di hadapan-Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa saja yang dapat membawa kepada-Nya, puas dengan tidak disebut-sebut namanya sendiri, dan dia selalu mengalami kegelisahan dalam hatinya sampai dia mencapai Tuhannya.

Abu Bakr Al-Warraq menyatakan, “Ada 3 hal yang menyeksa hati seorang murid: perkahwinan, menulis hadis, dan perjalanan.” Seseorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Dia menjawab, “Kehendak [akan Allah] mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu.”

Hatim Al-Ashamm mengajarkan, “Jika engkau datang kepada seorang murid yang menginginkan sesuatu selain murad [yang dikehendaki], yakinlah engkau bahawa dia telah menunjukkan kerendahan dirinya.” Al-Kattani mengatakan, “Aturan hidup yang layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai berikut: tidur hanya jika sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat perlu, dan berbicara hanya jika terpaksa.” Al-Junaid mengatakan, “Jika Allah mengkehendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para sufi, dan menjauhkannya dari kaum ulama kebanyakan.”

Ar-Raqqi menuturkan, aku mendengar Ad-Daqqaq mengatakan, “Pada tahap akhir kehendak, engkau melakukan gerakan menuju Allah SWT dan engkau menemukan Dia dengan gerakan itu.” Aku lalu bertanya, “Apakah yang mencakup seluruh persoalan tentang kehendak?” Dia menjawab, “Iaitu bahawa engkau menemukan Tuhan tanpa suatu gerakan.”

Abu Bakr Ad-Daqqaq menjelaskan, “Seorang murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat di pundak kirinya menganggur selama dua puluh tahun.” Al-Wasiti berpendapat, “Tahap (maqam) pertama seorang murid adalah kehendak akan Allah SWT, yang dicapai dengan mencampakkan hawa nafsunya sendiri.

Seseorang bertanya kepada Al-Junaid, “Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita saleh?” Dia menjawab, “Cerita-cerita saleh adalah salah satu tentera Allah, dan hati manusia dikuatkan olehnya.” Dia ditanya lagi, “Adakah dalil yang menyokong ucapanmu itu?” Dia menegaskan, “Ya, dalilnya adalah firman Allah SWT;

وْلَـٰٓٮِٕكَ لَمۡ يَكُونُواْ مُعۡجِزِينَ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَمَا كَانَ لَهُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنۡ أَوۡلِيَآءَ‌ۘ يُضَـٰعَفُ لَهُمُ ٱلۡعَذَابُ‌ۚ مَا كَانُواْ يَسۡتَطِيعُونَ ٱلسَّمۡعَ وَمَا ڪَانُواْ يُبۡصِرُونَ 

Mereka itu tidak akan dapat melemahkan kekuasaan Allah daripada menimpakan mereka dengan azab di dunia dan tidak ada pula bagi mereka, yang lain dari Allah, sesiapapun yang dapat menolong melepaskan mereka dari seksaNya. Azab untuk mereka akan digandakan (kerana mereka sangat bencikan jalan agama Allah), sehingga mereka tidak tahan mendengarnya dan tidak pula suka melihat tanda-tanda kebenarannya. (Hud: 20)

Al-Junaid mengatakan, “Seorang murid yang tulus tidak memerlukan ilmu pengetahuan para ulama.”

Mengenai perbezaan antara murid (yang berkehendak) dengan murad (yang dikehendaki), dapat dikatakan bahawa setiap murid sesungguhnya adalah juga murad. Jika dia bukan murad [yang dikehendaki] Allah SWT, nescaya dia tidak akan menjadi murid, sebab tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Selanjutnya, setiap murad adalah juga murid, sebab jika Allah mengkehendakinya secara khusus, Dia akan menganugerahinya kerberhasilan dalam memilik kehendak [terhadap-Nya].

Menurut kaum sufi, murid adalah seorang pemula, sedangkan murad berada pada tingkatan yang paling tinggi. Murid dibimbing melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menghabiskan tenaga dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan; bagi seorang murad, satu perintah dari Allah saja sudah mencukupi, tanpa menyebab kesulitan bagi dirinya. Murid dipaksa untuk bekerja keras, sedangkan murad dianugeahi kenyamanan dan kemudahan.

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menjelaskan, “Murid dijadikan menanggung, manakala murad ditanggung.” Beliau juga berpendapat, “Musa adalah seorang murid sebab dia berkata,

قَالَ رَبِّ ٱشۡرَحۡ لِى صَدۡرِى 

Nabi Musa berdoa dengan berkata: Wahai Tuhanku, lapangkanlah bagiku, dadaku; (Ta-Ha:25)

Baginda Rasulullah saw adalah seorang murad sebab Allah SWT berfirman mengenai beliau,

أَلَمۡ نَشۡرَحۡ لَكَ صَدۡرَكَ

وَوَضَعۡنَا عَنكَ وِزۡرَكَ

ٱلَّذِىٓ أَنقَضَ ظَهۡرَكَ

وَرَفَعۡنَا لَكَ ذِكۡرَكَ 

Bukankah Kami telah melapangkan bagimu: Dadamu (wahai Muhammad serta mengisinya dengan iman dan hidayat petunjuk)? (1) Dan Kami telah meringankan daripadamu: Bebanmu (menyiarkan Islam); (2) Yang memberati tanggunganmu, (dengan memberikan berbagai kemudahan dalam melaksanakannya)? (3) Dan Kami telah meninggikan bagimu: Sebutan namamu (dengan mengurniakan pangkat Nabi dan berbagai kemuliaan)? (Ash-Sharh:4)

Ketika Al-Junaid ditanya tentang murid dan murad, dia menjawab, “Murid dikendalikan oleh aturan-aturan ketetapan-ketetapan ilmu para ulama, sedangkan murad dikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah SWT. Murid berjalan; murad terbang. Bilakah manusia yang terikat dengan bumi dapat menyusul yang terbang?”


AR-RISALAH BAB 23: PENGHAMBAAN (UBUDDIYAH)

وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ 

Dan sembahlah Tuhanmu, sehingga datang kepadamu (perkara yang tetap) yakin. (Al-Hijr: 99)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahawa Rasulullah saw bersabda, “Ada 7 golongan manusia yang akan dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naugan selain naungan-Nya: imam yang adil, pemuda yang hidup dalam pengabdian kepada Allah SWT, seorang laki-laki yang hatinya terpaut kepada masjid sejak dia meninggalkannya hingga kembali kepadanya, dua orang laki-laki yang saling mencintai kerana Allah, yang bertemu dan berpisah kerana Allah, seorang laki-laki yang menghindari godaan seorang wanita cantik dengan ucapan, “Aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam,’ dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan diam-diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.”

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menyatakan, “Penghambaan adalah lebih sempurna daripada ibadah. Kerana itu, pertama-tama adalah ibadah, lalu penghambaan, dan akhirnya pemujaan (ubudah).” Ibadah adalah amalan kaum awam, penghambaan adalah amalan kaum terpilih, dan pemujaan adalah amalan kaum terpilih lagi terpilih.

Beliau juga mengatakan, “Ibadah adalah untuk orang yang memiliki kepastian pengetahuan (ilmul yaqin), penghambaan untuk orang yang memiliki kepastian penglihatan (ainul yaqin), dan pemujan adalah untuk orang yang memiliki kepastian (haqqul yaqin).”

Beliau juga berpendapat, “Ibadah adalah untuk orang yang sedang berjuang keras, penghambaan adalah untuk orang yang sangat tahan menanggung kesukaran, dan pemujaan untuk mereka yang telah mencapai taraf musyahadah (meyaksikan Allah).” Jadi orang yang tidak mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan ibadah, hatinya dalam keadaan penghambaan, dan ruhnya dalam keadaan pemujaan.

Dikatakan, “Penghambaan adalah menegakkan tindak-tanduk kepatuhan yang sejati, melaksanakannya tanpa batas, menisbatkan nilai yang kecil sahaja kepada apa yang engkau persembahkan, dan menyedari bahawa amal-amal kebajikanmu hanya dapat terlaksana berkat ketentuan sebelumnya dari Allah.”

Muhammad bin Khafif ditanya, “Bilakah penghambaan menjadi baik?” Dia menjawab, “Apabila seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuannya dan memiliki kesabaran terhadap-Nya dalam menjalani cubaan yang dikenakan-Nya.”

Sahl bin Abdullah mengatakan, “Bagi siapa pun, pengabdian tidaklah sahih sampai dia tidak mempedulikan empat hal: kelaparan, pakaian, kemiskinan dan kehinaan.”

Dzun Nun Al-Mishri menjelaskan, “Penghambaan adalah bahawa engkau menjadi budak-Nya setiap saat, seperti halnya Dia adalah Tuhanmu setiap saat.” Al-Jurairi menyatakan, “Banyak orang yang menjadi budak anugerah, tapi sedikit sekali yang menjadi budak Sang Pemberi anugerah.” Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menyatakan, “Engkau akan menjadi budak dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau terikat dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi budak bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat kepada kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi budak bagi kehidupan duniawimu.”

Abu Zain melihat seorang laki-laki dan bertanya kepadanya, “Apakah pekerjaanmu?” Dia menjawab, “Aku melayani keledai-keledai.” Abu Zain mencela, “Semoga Allah mematikan keledai-keledaimu, agar engkau dapat melayani Dia, bukan melayani keledai.”

Abu ‘Amr bin Nujaid menegaskan, “Tidak ada satu pun langkah dapat murni di jalan penghambaan sampai seseorang melihat amal-amal baiknya adalah kemunafikan dan keadaan-keadaan (haal)-nya adalah kepura-puraan.”

Abdullah bin Munazii menyatakan, “Manusia adalah budak Allah selama dia tidak mengusahakan apa pun untuk tunduk kepada dirinya. Jika dia mengusahakan agar sesuatu tunduk kepada dirinya, beerti dia telah meninggalkan lingkup penghambaan [kepada Allah] dan meninggalkan amalannya.

Sahl bin Abdullah berpendapat, “Pengabdian hanya dapat dipandang benar pada seseorang hamba manakala tidak ada kesengsaraan pada dirinya ketika dia miskian dan tidak ada tanda kekayaan ketika dia kaya.”

An-Nibaji mengatakan, “Ibadah itu didasarkan kepada 3 hal: hendaknya engkau tidak menolak aturan-aturan-Nya yang mana pun, tidak menahan sesuatu pun yang diminta-Nya, dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau meminta kepada orang lain untuk memenuhi keperluanmu.”

Ibnu Atha’ menjelaskan, “Perhambaan ada pada 4 sifat: kesetiaan pada sumpah yang diucapkan, menjaga batas-batas yang telah ditetapkan (Allah), rasa puas terhadap apa pun yang dimiliki, dan kesabaran terhadap apa pun yang tidak diperolehi.”

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menyatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia dari penghambaan, juga tidak ada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain daripada ‘hamba’. Kerana alasan ini Allah SWT ketika menggambarkan Rasulullah saw pada malam Mikraj – saat yang paling mulia di dunia ini berfirman,

سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلاً۬ مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُ ۥ لِنُرِيَهُ ۥ مِنۡ ءَايَـٰتِنَآ‌ۚ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambaNya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam (di Mekah) ke Masjid Al-Aqsa (di Palestin), yang Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Al-Isra:1)


Kemudian Allah berfirman,

فَأَوۡحَىٰٓ إِلَىٰ عَبۡدِهِۦ مَآ أَوۡحَىٰ



Lalu Allah wahyukan kepada hambaNya (Muhammad, dengan perantaraan malaikat Jibril) apa yang telah diwahyukanNya. (An-Najm:10)

Maka seandainya ada gelaran yang lebih agung daripada ‘hamba’, tentulah Dia menggunakannya untuk baginda.

Salah seorang sufi berpendapat, “Jika engkau mencampakkan dua hal dari dirimu, nescaya engkau akan menjadi hamba Allah yang sejati: ketenangan dalam kesenangan dan bergantung pada amal perbuatan lahir.” Al-Wasiti mengingatkan, “Waspadalah terhadap kesenangan yang ditimbulkan oleh pemberian, kerana bagi manusia-manusia yang suci, itu merupakan tabir.

Abu Ali Al-Juzjani berkata, “Merasa puas dengan ketetapan Allah adalah tempat tinggal penghambaan, sabar adalah pintu keredhaan, dan menyerahkan semua kekuasaan kepada Allah adalah rumah keredhaan.”

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq mengatakan, “Sebagaimana sifat rububiyyah (sifat Allah sebagai Rabb, atau penguasa) sifat abadi Allah SWT, begitu juga ubudiyyah (penghambaan) adalah sifat manusia yang tetap padanya selama mana dia hidup.”

An-Nasrabadhi menegaskan, “Amal-amal ibadah lebih dekat kepada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-kekurangan darpada kepada permohonan imbalan dan pahala.” Dia juga mengatakan, “Penghambaan beerti kehilangan kesedaran akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Esa dilayani.

AR-RISALAH BAB 22: REDHA

جَزَآؤُهُمۡ عِندَ رَبِّہِمۡ جَنَّـٰتُ عَدۡنٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِہَا ٱلۡأَنۡہَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيہَآ أَبَدً۬ا‌ۖ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنۡہُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ‌ۚ ذَٲلِكَ لِمَنۡ خَشِىَ رَبَّهُ ۥ 

Balasan mereka di sisi Tuhannya ialah Syurga Adn (tempat tinggal yang tetap), yang mengalir di bawahnya beberapa sungai; kekallah mereka di dalamnya selama-lamanya; Allah reda akan mereka dan merekapun reda (serta bersyukur) akan nikmat pemberianNya. Balasan yang demikian itu untuk orang-orang yang takut (melanggar perintah) Tuhannya. (Al-Bayyina: 8)

Jabir mengabarkan bahawa Rasulullah saw menyatakan, “Para penghuni syurga akan berada di dalam sebuah kumpulan ketika suatu cahaya dari pintu gerbang syurga menyinari mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan Allah SWT memandang mereka dan berfirman, “Wahai penghuni syurga, mintalah kepada-Ku apa yang kamu inginkan.” Mereka akan menjawab, “Kami memohon agar Engkau redha kepada kami.” Allah SWT menjawab, “Keredhaan-Ku telah membawa kamu ke rumah-Ku, dan Aku telah menghormati kamu. Ini adalah saat yang tepat, maka bermohonlah kepada-Ku.” Mereka akan menjawab, “Kami memohon tambahan selain ini.” Selanjutnya baginda berkata, “Kepada mereka akan dibawakan kuda-kuda kuat yang terbuat dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud dan manikam. Mereka akan menaikinya, dan kuda-kuda itu akan melangkah lebih cepat dari penglihatan mata. Lalu Allah SWT akan memerintahkan buah-buahan yang lazat serta bidadari supaya dibawa kepada mereka, dan para bidadari itu akan berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang muda dan lemah lembut, dan kami tidak akan menjadi layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.’ Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harum, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut ‘Al-Mutsirah’ (Pembangkit) sampai akhirnya mereka dibawa ke Syurga Adn, yang adalah pusat syurga.

Para malaikat akan menyerukan, “ Wahai Tuhan kami, mereka telah datang.” Allah akan mengatakan, “Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang patuh.” Lalu Rasulullah saw mengatakan, “Maka tabir pun akan disingkapkan bagi mereka. Mereka akan memandang kepada Allah, dan mereka menikmati Cahaya Yang Maha Pengasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah memerintahkan, “Kembalikanlah mereka ke tempat tinggal mereka dan mereka akan dapat lagi saling pandang.” Lalu Rasulullah saw menjelaskan, “Itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah;

نُزُلاً۬ مِّنۡ غَفُورٍ۬ رَّحِيمٍ۬ 

(Pemberian-pemberian yang serba mewah itu) sebagai sambutan penghormatan dari Allah Yang Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani! (As-Fussilat:32)

Abdul Wahid bin Zaid menjelaskan, “Kerelaan adalah gerbang Allah yang terbesar dan syurganya dunia ini.” Ketahuilah bahawa si hamba tidak akan mendekati darjat kerelaan terhadap Allah sampai Allah redha terhadapnya, sebab Allah telah berfirman,

رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنۡہُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ‌ۚ

Allah reda akan mereka dan merekapun reda (serta bersyukur) akan nikmat pemberianNya (Al-Bayyina: 8)

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada syeikhnya, “Apakah si hamba mengetahui apakah Allah redha kepadanya? Sang syeikh menjawab, “Tidak. Bagaimana dia dapat tahu hal itu sedangkan keredhaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?” Si murid membantah, “Tidak, dia dapat mengetahuinya!” Syeikhnya bertanya, “Bagaimana si hamba dapat tahu?” Si murid menjawab, “Jika saya mendapati hati saya rela kepada Allah SWT, maka saya tahu bahawa Dia redha kepada saya.” Maka sang syeikh lalu berkata, “Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda.”

Ketika bahawa Musa as berdoa, “Ya Allah, bimbinglah aku kepada amal yang akan mendatangkan keredhaan-Mu”. Allah SWT menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah SWT lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putera Imran, keredhaan-Ku ada pada kerelaanmu menerima ketetapan-Ku.”

Abu Sulaiman Ad-Darani menyatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari ingatan terhadap hawa nafsu, maka dia akan mencapai kerelaan.” An-Nasrabandi menyatakan, “Barangsiapa yang ingin mencapai darjat kerelaan, maka hendaklah dia berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keredhaan-Nya.”

Muhammad bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam kerelaan: kerelaan terhadap Allah SWT dan kerelaan terhadap apa yang datang dari-Nya. Kerelaan terhadap Allah SWT beerti bahawa si hamba rela terhadap-Nya sebagai Pengatur (urusan-urusannya) dan kerelaan terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menyatakan, “Jalan sang pengembara itu lebih panjang, dan itulah jalan latihan spiritual. Jalan kaum terpilih lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak-sesuai dengan kerelaan dan agar engkau rela dengan takdir.” Ruwaym menyatakan, “Kerelaan adalah jika Allah meletakkan neraka di tangan kananmu, maka engkau tidak akan meminta agar Dia memindahkannya ke tangan kirimu.” Abu Bakr bin Thahir berpendapat, “Kerelaan adalah menghilangkan keengganan dari hati hingga tidak sesuatu pun yang tinggal selain kebahagian dan kegembiraan.” Al-Wasiti mengajarkan, “Manfaatkanlah kerelaan sebesar-besarnya dan jangan biarkan ia memanfaatkan dirimu agar supaya kemanisan dan wawasannya tidak menabirimu dari kebenaran batin yang menyangkut perhatianmu.” Ketahuilah bahawa kata-kata ini sangatlah penting. Di dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab kerelaan terhadap keadaan mereka itu sendiri merupakan tabir yang menabiri Si Pemberi keadaan. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam kerelaannya dan mengalami nikmat kerelaan dalam hatinya, maka dia telah ditabiri oleh kerelaannya sendiri dari menyaksikan kebenaran batin.

Al-Wasiti mengingatkan, “Waspadalah terhadap perasaan nikmat kerana amal ibadah, sebab itu adalah racun yang membawa maut.” Ibnu Khafif menyatakan, “Kerelaan adalah tenangnya hati dengan ketetapan Allah dan keserasian hati dengan apa yang menjadikan Allah redha dan dengan apa yang dipilih-Nya untukmu.”

Ketika Rabiah Al-adawiyah ditanya, “Bilakah seorang hamba dipandang rela?” Dia menjawab, “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakan dengan anugerah.” Diceritakan bahawa Asy-Syibli menegaskan di hadapan Junaid, “Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah,” dan Al-Junaid mengatakan kepadanya, “Ucapanmu itu mencul dari kenestapaan, dan kenestapaan datang kerana orang meninggalkan kerelaan terhadap takdir.” Asy-Syibli terdiam.

Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Kerelaan adalah jika engkau tidak meminta syurga dari Allah SWT dan berlindung kepada-Nya dari neraka.” Dzun Nun menjelaskan, “Ada 3 tanda kerelaan, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan merasakan ghairah cinta di tengah-tengah cubaan.”

Dikatakan kepada Al-Husaain putera Ali bin Abi thalib ra, “Abu Dzar menyatakan, “Kemiskinan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesihatan.” Al-Hussain menjawab, “Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Aku sendiri, kukatakan, ‘Orang yang menaruh kepercayaan kepada pilihan baik Allah baginya tidak akan berkeinginan selain apa yang telah dipilihkan Allah SWT baginya.”

Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan kepada Bisyr Al-Hafi, “Kerelaan adalah lebih baik daripada hidup bertapa (asceticism) di dunia ini, sebab orang yang rela tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya.” Ketika Abu Utsman ditanya tentang ucapan Nabi saw, “Aku memohon kepada-Mu rasa rela, setelah diputuskannya ketetapan (Mu),” dia menjelaskan, “Ini kerana kerelaan sebelum diputuskannya ketetapan Allah beerti adanya niat kuat untuk merasa rela, tetapi kerelaan setelah diputuskannya ketetapan adalah [sebenar-benar] kerelaan.”

Al-Junaid berpendapat, “Kerelaan adalah meniadakan pilihan.” Ruwaym mengatakan, “Kerelaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).”

Diriwayatkan oleh Al-Abbas bin Abdul Mutallib bahawa Rasulullah saw menjelaskan, “Barangsiapa yang rela akan Allah sebagai Tuhannya, ia akan merasakan nikmatnya iman.”

Diceritakan bahawa Umar bin Al-Khattab menulis surat kepada Abu Musa Al-Asyari, “Segala kebaikan terletak di dalam kerelaan. Maka jika engkau mampu, jadilah orang yang rela; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.” Dalam sebuah cerita disebutkan bahawa Utbah Al-Ghulam biasa menghabiskan malam-malamnya dengan berucap, “Jika engkau menghukumku, aku akan menyintai-Mu, dan jika engkau mengasihani aku, aku pun tetap menyintai-Mu.”

AR-RISALAH BAB 21: KOREKSI DIRI (MURAQABAH)

لَّا يَحِلُّ لَكَ ٱلنِّسَآءُ مِنۢ بَعۡدُ وَلَآ أَن تَبَدَّلَ بِہِنَّ مِنۡ أَزۡوَٲجٍ۬ وَلَوۡ أَعۡجَبَكَ حُسۡنُہُنَّ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ يَمِينُكَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ رَّقِيبً۬ا 

Tidak halal bagimu berkahwin dengan perempuan-perempuan yang lain sesudah (isteri-isterimu yang ada) itu dan engkau juga tidak boleh menggantikan mereka dengan isteri-isteri yang baru sekalipun engkau tertarik hati kepada kecantikan mereka, kecuali hamba-hamba perempuan yang engkau miliki dan (ingatlah) Allah sentiasa Mengawasi tiap-tiap sesuatu. (Al-Ahzab:52)

Diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah Al-Bajalli bahawa malaikat Jibril datang kepada Rasulullah saw dalam rupa sebagai seorang manusia. Dia bertanya, “Wahai Muhammad, apakah iman itu? Beliau menjawab, “Iman adalah bahawa engkau percaya kepada Allah, para malakat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, dan kepada takdir yang baik mahupun yang buruk, yang manis mahupun yang pahit.” Jibril berkata, “Engkau benar.” Jarir berkata, “Kami semua hairan atas penegasannya ke atas kebenaran jawapan nabi, sedangkan dia sendiri yang bertanya. Kemudian, Jibril bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah Islam itu?” Rasulullah menjawab, “Islam itu hendaknya engkau menegakkan solat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.” Jibril berkata, “Engkau benar.” Kemudian dia bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah ihsan itu?” Nabi menjawab, “Ihsan itu hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya sebab meskipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Jibril berkata, “Engkau benar.”

Ucapan Nabi, “Meskipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu,” merupakan petunjuk mengenai keadaan muraqabah diri, sebab muraqabah diri adalah kesedaran si hamba bahawa Allah sentiasa melihat dirinya.

Si hamba hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah dia sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap bertekad di jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah dengan sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat tidak pernah lupa kepada Allah SWT, patuh kepada Allah SWT dalam semua keadaannya.

Al-Jurairi menyatakan, “Orang yang belum mengukuhkan rasa takutnya kepada Allah dan membetulkan dirinya terhadap-Nya tidak akan mencapai kasyaf dan syahadah.

Seorang sufi mengabarkan:

Ada seorang raja yang mempunyai seorang pelayan yang mendapat perhatian lebih dari pelayan lainnya. Tidak seorang pun diantara mereka yang lebih beharga atau lebih tampan dari pelayan yang satu itu. Sang raja ditanya tentang hal ini, maka dia lalu ingin menjelaskan kepada mereka kelebihan pelayannaya itu dari pelayan yang lain dalam pengabdiannya. Suatu hari beliau telah mengenderai kuda bersama para pengiringnya. Di kejauhan nampak sebuah gunung berpuncakkan salji. Sang raja melihat kepada salji itu dan membungkukkan kepadalanya. Si pelayan lalu memacu kudanya. Tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa sedikit salji. Sang raja bertanya kepadanya, "Bagaimana engkau tahu bahawa aku menginginkan salji? Si pelayan menjawab, “ Kerana paduka melihatnya, dan seorang raja hanya melihat sesuatu jika dia mempunyai niat yang kuat”. Maka sang raja lalu berkata, “Aku memberinya anugerah dan kehormatan khusus, kerana bagi setiap orang ada pekerjaannya sendiri, dan pekerjaannya adalah mengamati pandangan mataku dan memperhatikan keadaanku dengan penuh perhatian.”

Ketika Umar ra sedang berada dalam perjalanan dia melihat seorang anak laki-laki sedang mengembalakan kambing. Dia bertanya kepadanya, “Mahukah engkau menjual seekor kambingmu kepadaku?” Si anak menjawab, "Kambing-kambing ini bukan milikku.” Ibn Umar mengatakan, “Katakan saja kepada pemiliknya bahawa seekor serigala telah melarikannya.” Si anak lantas berkata, “Lantas di mana Allah?”

Salah seorang syeikh mempunyai beberapa orang murid, dan dia lebih menyukai salah seorang muridnya, dan memberinya perhatian lebih daripada murid-muridnya yang lain. Ketika dia ditanya tentang hal itu, dia menjawab, “Aku akan menunjukkan kepadamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu diberikannya kepada setiap orang muridnya sekor burung dan memerintahkan kepada mereka, Sembelihlah burung-burung itu di suatu tempat di mana tidak seorang pun melihatnya. Mereka semua lalu berangkat, kemudian masing-masing kembali dengan burung sembelihannya. Tetapi murid yag disayangi syeikh itu kembali dengan membawa burungnya yang masih hidup. Ketika syeikhnya bertanya, “Mengapa engkau tidak menyembelih burungmu?” Si murid menjawab, “Tuan memerintahkan saya supaya menyembelih burung ini di tempat yang tidak dilihat oleh sesiapa pun, dan saya tidak dapat menemukan tempat seperti itu.”

Dzun Nun Al-Mishri menyatakan, Tanda muraqabah kepada Allah adalah memilih apa yang dipilih oleh Allah SWT, menganggap besar apa yang dipandang besar oleh-Nya dan menganggap remeh apa yang dipandang-Nya remeh.”

An-Nasrabandi menegaskan, “Harapan mendorongmu untuk patuh, takut menghindarmu dari maksiat, dan muraqabah membawamu kepada jalan kebenaran hakiki.”

Abul Abas Al-Bahgdadi menuturkan, “Ketika aku bertanya kepada Jafar bin Nasir mengenai muraqabah, dia berkata kepadaku, “Muraqabah adalah kewaspadaan terhadap batin sendiri dikeranakan adanya kesedaran akan pengawasan Allah SWT terhadap setiap pemikiran.”

Ibrahim Al-Khawwas mengatakan, “Pengawasan menghasilkan muraqabah; muraqabah menghasilkan pengabdian lahir dan batin kepada Allah SWT.”

Abu Utsman menuturkan, “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘Manakala engkau duduk mengajar orang banyak, jadilah seorang pengkhutbah kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh berkumpulnya mereka di sekelilingmu, sebab mereka hanya memperhatikan wujud lahiriahmu, sedangkan Allah memperhatikan wujud batinmu.”

Abu Said Al-Kharraz mengabarkan, “Salah seorang syeikh mengatakan kepadaku, ‘Engkau harus mengawasi batinmu dan muraqabah terhadap Allah. Suatu ketika aku sedang bepergian melalui padang pasir, dan tiba-tiba aku mendengar suara keras yang menakutkan di belakangku. Aku ingin menoleh, tapi hal itu tidak kulakukan. Lalu aku melihat sesuatu jatuh ke atas pundakku dan aku pun lari. Aku memandang ke dalam batinku, dan kulihat seekor singa yang besar.”

Al-Wasiti menyatakan, “Amal ibadah yang paling baik adalah mengawasi saat. Ertinya, si hamba tidak melihat keluar batas dirinya, tidak memikirkan sesuatu pun selain Tuhannya, dan tidak menyekutui dengan sesuatu pun selain saat kininya.

AR-RISALAH BAB 20: SABAR

وَٱصۡبِرۡ وَمَا صَبۡرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ‌ۚ وَلَا تَحۡزَنۡ عَلَيۡهِمۡ وَلَا تَكُ فِى ضَيۡقٍ۬ مِّمَّا يَمۡڪُرُونَ
إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحۡسِنُونَ 

Dan bersabarlah (wahai Muhammad terhadap perbuatan dan telatah golongan yang ingkar itu) dan tiadalah berhasil kesabaranmu melainkan dengan (memohon pertolongan) Allah dan janganlah engkau berdukacita terhadap kedegilan mereka, dan janganlah engkau bersempit dada disebabkan tipu daya yang mereka lakukan. (127) Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berusaha memperbaiki amalannya. (An-Nahl: 128)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahawa Aisyah menuturkan hadis berikut ini dari Rasullullah saw, “Sabar [yang sebenarnya] itu adalah pada saat menghadapi cubaan yang pertama.”

Kerana itu sabar dibagi kepada beberapa tahap: sabar terhadap apa yang diperolehi si hamba [melalui amal-amalnya] dan sabar terhadap apa yang diperolehnya tanpa upaya. Mengenai sabar terhadap apa yang diperolehi dengan upaya, sabar tahap ini terbagi menjadi dua: sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Mengenai sabar terhadap hal-hal yang tidak diperoleh melalui upaya dari si hamba, maka kesabarannya adalah dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.

Al-Junaid menegaskan, “Perjalanan dari dunia ke akhirat adalah mudah bagi orang yang beriman, tetapi menghindari makhluk demi Allah SWT adalah sulit. Dan perjalanan dari diri sendiri menuju Allah SWT adalah sangat sulit, tetapi yang lebih sulit lagi adalah bersabar terhadap Allah.”

Rasulullah saw mengatakan, “Dengan-Mu aku hidup dan dengan-Mu aku mati.”

Ahmad menuturkan, “Aku bertanya kepada Abu Sulaiman tentang sabar, dan dia mengatakan, “Demi Allah, kita tiak dapat bersabar dengan apa yang kita sukai, jadi bagaigama pula halnya dengan apa yang tidak kita sukai?”

Dikatakan, “Sabar adalah menjalani cubaan dengan sikap yang sama seperti menghadapi kenikmatan.”

مَا عِندَكُمۡ يَنفَدُ‌ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ۬‌ۗ وَلَنَجۡزِيَنَّ ٱلَّذِينَ صَبَرُوٓاْ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ 

(Sebenarnya) apa yang ada pada kamu akan habis dan hilang lenyap dan apa yang ada di sisi Allah tetap kekal dan sesungguhnya Kami membalas orang-orang sabar dengan memberikan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka telah kerjakan. (An-Nahl:96)

‘Amr bin Utsman mengatakan, “Sabar adalah berlaku teguh terhadap Allah SWT dan menerima cubaan-cubaan-Nya dengan sikap lapang dada dan tenang. Al-Khawwas menjelaskan, “Sabar adalah menetapi ketentuan-ketentuan Kitabullah dan Sunnah Rasul.”

Ibn Atha’ membacakan syair berikut,

Aku akan bersabar untuk menyenang-Mu,
Sementara rindu menghancurkan diriku.
Cukuplah bagiku bahawa Engkau redha,
Meskipun kesabaranku menghancurkan diriku.

Abu Abdullah bin Khafif menyatakan, “Sabar ada 3 macam: sabarnya oran yang berjuang untuk bersabar, sabarnya orang yang sabar, dan sabarnya orang yang sangat sabar.” Ali bin Abdullah Al-Bashri menuturkan, “Seorang laki-laki datang kepada Asy-Syibli dan bertanya, “Sabar macam mana yang paling sulit bagi oran yang sabar?” Dia menjawab, “Iaitu sabar terhadap Allah SWT.” Tetapi orang itu menyanggah, “Bukan.” Asy-Syibli menyarankan, “Sabar untuk Allah.” Orang itu menyanggah lagi, “Bukan.” Asy-Syibli menjawab, “Sabar bersama Allah,” Sekali lagi orang itu menyanggah. “Bukan.” Asy-Syibli bertanya, “Lantas sabar yang mana?” Orang itu menjawab, “Sabar berjauhan dengan Allah.” Mendengar jawapan itu Asy-Syibli berteriak sedemikian rupa sehingga hampir binasa.”

Salah seorang sufi bersenandung,

Aku bersabar ketika aku tidak tahu kehendak-Mu atas kesabaranku,
Dan kerana sabar, ku sembunyikan petaka yang Kau kenakan ke atas diriku.
Kerana takut bahawa hatiku akan mengeluh tentang kerinduanku,
Dengan diam-diam terhadap air mataku, hingga mereka dapat mengalir tanpa kutahu.

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq berpendapat, “Orang yang sabar akan mencapai darjat yang tinggi di dunia dan di akhirat, sebab mereka telah menjadi manusia yang disertai oleh Allah. Allah SWT berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ 

Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan (untuk menghadapi susah payah dalam menyempurnakan sesuatu perintah Tuhan) dengan bersabar dan dengan (mengerjakan) sembahyang; kerana sesungguhnya Allah menyertai (menolong) orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 153)

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَلَا تَنَـٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡ‌ۖ وَٱصۡبِرُوٓاْ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ 

Dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan janganlah kamu berbantah-bantahan; kalau tidak nescaya kamu menjadi lemah semangat dan hilang kekuatan kamu dan sabarlah (menghadapi segala kesukaran dengan cekal hati); sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar. (An-Anfal: 46)

Dikatakan mengenai erti firman Allah SWT, bahawa sabar (shabr) adalah kurang dari tekad hati dalam kesabaran (mushaabarah), dan juga kurang dari mengaitkan diri kepada Allah (muraabathah). Dikatakan juga, “Bersabarlah” dengan dirimu dalam kepatuhan kepada Allah SWT; “bertekadlah dalam kesabaran” dengan hatimu dalam menghadapi cubaan-cubaan yang berkaitan dengan Allah, dan “kaitkanlah” jiwamu kepada kerinduan kepada Allah. Juga dikatakan, “Bersabarlah” kepada Allah, “bertekadlah dalam kesabaran” dengan Allah, dan “kaitkanlah” jiwamu dengan Allah.

Dikatakan bahawa Allah SWT mewahyukan kepada Dawud as, “Tirulah sifat-sifat-Ku”. Di antaranya bahawa Aku adalah Yang Maha Penyabar.” Dikatakan, “Seraplah kesabaran. Jika ia membunuhmu, engkau akan mati sebagai syahid. Jika ia mempercepat [langkahmu] maka engkau akan hidup sebagai seorang mulia”. Dikatakan juga, “Kesabaran untuk Allah adalah kesukaran, sabar dengan Allah adalah tetap [ bersama-Nya], sabar terhadap Allah adalah cubaan, dan sabar jauh dari Allah adalah sangat tercela.”

Para sufi membacakan syair berikut,

Tercelalah hasil kesabaran berjauhan dengan-Mu.
Namun terpujilah segala kesabaran yang lain.
Mereka juga membacakan,
Bagaimana aku dapat bersabar dalam perpisahan dengan Dia
Yang sama dekat denganku seperti tangan kanan dan kiri?

Ketika semua manusia bermain siasat dengan semua hal
Aku melihat bahawa cinta memainkan siasat terhadap mereka.

Dikatakan, “Sabar dalam mencari pemenuhan hasrat adalah tanda kemenangan, dan sabar dalam kesukaran adalah tanda keselamatan.”

Dikatakan, “Bersikap tekad dalam kesabaran adalah ‘bersabar dalam bersabar’ sampai kesabaran terserap dalam kesabaran, dan kesabaran berputus asa dalam kesabaran, sebagaimana dikatakan dia bertekad dalam kesabaran, hingga kesabaran meminta pertolongan kepadanya. Maka si pecinta berseru kepada kesabaran: “Sabar!”

Dalam satu riwayat disebutkan, “Apa yang dipikul oleh mereka yang memikul beban demi untuk-Ku, adalah dalam penglihatan-Ku.” Allah SWT berfirman:

وَٱصۡبِرۡ لِحُكۡمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعۡيُنِنَا‌ۖ وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ 

Dan (dengan yang demikian) bersabarlah (wahai Muhammad) menerima hukum Tuhanmu (memberi tempoh kepada mereka) kerana sesungguhnya engkau tetap terselamat dalam pemeliharaan serta pengawasan Kami; dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu semasa engkau bangun. (At-Tur:48)

Ketika Rasulullah saw ditanya tentang iman, baginda menjelaskan: “[Iman] adalah keteguhan hati dalam bersabar dan bersikap murah hati.”

As-Sari ditanya tentang sabar, dan dia mulai berbicara. Lalu seekor kala jengking merayap ke kakinya dan menyengatnya beberapa kali, namun ia sama sekali tidak berganjang. Seseorang bertanya kepadana, “Mengapa engkau tidak mencampakkanya?” Dia menjawab, “Aku malu kepada Allah untuk berbicara tentang sabar sedang aku sendiri tidak bersabar.”

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Orang-orang miskin yang sabar akan menjadi teman Allah SWT di hari kebangkitan.”

Allah SWT mewahyukan kepada salah seorang nabi-Nya, “Aku menurunkan cubaan kepada hamba-Ku, lalu dia berdoa kepada-Ku. Tetapi Aku menangguhkan doanya dan dia mengeluh kepada-Ku. Maka Aku lalu bertanya, “Wahai hamba-Ku, bagaimana Aku dapat dalam kasih-sayang-Ku menyembunyikan sesuatu darimu yang dengannya Aku menunjukkan kasih-sayang-Ku?”

Ibn Unaiyah berpendapat mengenai erti firman Allah,

وَجَعَلۡنَا مِنۡہُمۡ أَٮِٕمَّةً۬ يَہۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْ‌ۖ وَڪَانُواْ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan dari kalangan mereka beberapa pemimpin, yang membimbing kaum masing-masing kepada hukum agama Kami, selama mereka bersikap sabar (dalam menjalankan tugas itu) serta mereka tetap yakin akan ayat-ayat keterangan Kami. (As-Sajda:24)

bahawa ertinya adalah, “kerana mereka memahami perhatian yang hakiki, maka Kami angkat mereka sebagai pemimpin.”

Allah berfirman dalam kisah Nabi Ayyub as,

وَخُذۡ بِيَدِكَ ضِغۡثً۬ا فَٱضۡرِب بِّهِۦ وَلَا تَحۡنَثۡ‌ۗ إِنَّا وَجَدۡنَـٰهُ صَابِرً۬ا‌ۚ نِّعۡمَ ٱلۡعَبۡدُ‌ۖ إِنَّهُ ۥۤ أَوَّابٌ۬

Dan (Kami perintahkan lagi kepadanya): Ambillah dengan tanganmu seikat jerami kemudian pukullah (isterimu) dengannya dan janganlah engkau merosakkan sumpahmu itu. Sesungguhnya Kami mendapati Nabi Ayub itu seorang yang sabar; dia adalah sebaik-baik hamba; sesungguhnya dia sentiasa rujuk kembali (kepada Kami dengan ibadatnya). (Sad: 44)

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menegaskan, “Kebenaran hakiki tentang sabar adalah jika si hamba keluar dari cubaan dalam keadaan seperti ketika dia memasukinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ayyub as pada akhir cubaan yang menimpanya,

وَأَيُّوبَ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُ ۥۤ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٲحِمِينَ 

Sesungguhnya aku ditimpa penyakit, sedang Engkaulah sahaja yang lebih mengasihani daripada segala (yang lain) yang mengasihani. (Al-Anbiya: 83)

AR-RISALAH BAB 19: YAKIN

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahawa Rasulullah saw dikhabarkan telah berkata, “Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah, janganlah berterima kasih kepada siapa pun di atas anugerah Allah SW, dan janganlah mencari kesalahan siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah SWT kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawa kepadamu dengan kerakusan orang yang rakus, tidak pula boleh ditolak darimu oleh kebencian orang yang membenci. Dengan keadilan-Nya, Allah SWT telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa puas dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam buruk sangka dan marah.”

Abu Abdullah Al-Antaki menyatakan, “ [Keuntungan] terkecil dari yaqin itu adalah bahawa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yaqin hati menjadi penuh dengan rasa syukur dan taqwa kepada Allah.”

Ja’far Al-Hadad menuturkan “Abu Turab An-Nakhsyabi melihatku ketika aku sedang berada di padang pasir, duduk di dekat mata air sebuah mata air. Aku sudah 16 hari lamanya tidak makan atau minum. Dia bertanya kepadaku, “Mengapa kau duduk di sini?” Aku menjawab, “Aku terumbang-ambing di antara pengetahuan (ilmu) dan yaqin, menunggu mana yang akan menang agar aku boleh bertindak sesuai dengannya. Jika pengetahuan menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang menang, aku anak terus berjalan.” Dia berkata kepadaku, “Darjat yang tinggi sedang menunggumu.”

Sahl bin Abdullah menjelaskan, “Keyakinan adalah cabang iman dan hanya berada di bawah tashdiq (penegasan kebenaran iman). Salah seorang sufi mengatakan, “Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan kepada hati untuk dijaga.” Orang yang mengucapkan perkataan ini menunjukkan bahawa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha, [melainkan suatu anugerah].

Abu Bakr bin Thahir menyatakan, “Pengetahuan datang melalui penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam kayikinan tidak ada keraguan sama sekali.” Pengetahuan seorang sufi pada awalnya bersifat pemerolehan dengan usaha, dan pada akhirnya bersifat ilham.

Salah seorang sufi mengatakan, “Darjat (maqam) pertama adalah pengetahuan, kemudian keyakinan, lalu penyaksian adanya Tuhan, lalu keikhlasan iman, lalu penyaksian (syahadah), kemudian kepatuhan. Dan iman adalah istilah yang mencakup semua ini.” Imam Abu Bakr bin Furak menyentuh pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan, “Dzikir dengan lidah adalah sesuatu yang sangat baik yang dengannya hati menjadi penuh.”

Sahl bin Abdullah berpendapat, “Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Tuhan.”

Dzun Nun juga mengatakan, “Ada 3 tanda keyakinan, “mengurangi pergaulan dengan manusia, mengurangi pujian kepada mereka demi memperoleh hadiah, dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka jika mereka tidak memberi [hadiah]. Selanjutnya ada 3 tanda keyakinan atas keyakinan: melihat kepada Allah SWT dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan menoleh kepada-Nya untuk memohon bantuan dalam setiap keadaan.”

Ibn Atha’ menyatakan, “Setaraf-darjat di mana mereka mencapai taqwa kepada Allah, setaraf itu pula mereka memperoleh keyakinan.” Landasan taqwa kepada Allah adalah penentangan terhadap hal-hal yang haram, dan menentang hal-hal yang haram beerti menentang diri sendiri. Jadi, sejauh darjat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan.”

Salah seorang sufi mengatakan, “Keyainan adalah terungkapnya tabir, dan terungkapnya tabir terjadi dengan 3 cara: melalui pengetahuan, melalui pengungkapan kekuasaan [Allah], dan melalui kebenaran-kebenaran iman.” Ketahuilah bahawa dalam bahasa sufi, penyingkapa tabir terdiri dari pengungkapan sesuatu ke dalam hati manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikir pun. Terkadang istilah penyingkapan (kasyaf) yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat di antara tidur dan bangn. Seringkali mereka menyebut keadaan ini sebagai ketabahan.

An-Nuri mengatakan, “Keyakinan adalah menyaksikan.” Maksudnya bahawa di dalam menyaksikan terdapat keyakinan tanpa keraguan, sebab tidak seorang pun yang menyaksikan Dia SWT jika dia tidak percaya pada yang datang dari-Nya.

Abu Bakr Al-Warraq berpendapat, “Keyakinan adalah landasan hati, dan disempurnakan dengannya iman. Allah SWT diketahui dengan keyakinan, dan akal memahami apa yang datang dari Allah.”

Al-Junaid menyatakan, “Berkat keyakinan, beberapa orang manusia boleh berjalan di atas air, namun ada dikalangan mereka mati kehausan, boleh jadi mereka melampaui dalam hal keyakinan.

Ibrahim Al-Khawwas menuturkan, “Di padang pasir, aku bertemu dengan seorang pemuda yang tampan bagaikan sepotong perak, dan aku bertanya kepadanya, “Mahu kemana kau, wahai anak muda?” Dia menjawab, “Ke Mekah”. Aku bertanya lagi, “Tanpa bekal, unta dan wang?”Dia menjawab, “Wahai orang yang lemah keyakinan, apalah Dia yang mampu memelihara langit dan dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekah tanpa bekal material?” Ibrahim selanjutnya menuturkan, “Ketika aku tiba di Mekah, kulihat pemuda itu sedang melakukan tawaf sambil berkata,

Wahai mataku yang sentiasa menangis,
Wahai jiwaku yang begitu berduka,
Janganlah engkau mengharapkan siapa pun,
Selain Dia Yang Maha Agung dan Abadi.

Dan ketika dia melihatku, dia bertanya, “Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu.”

An-Nahrajuri menyatakan, “Jika seorang hamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cubaan akan menjadi rahmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka.”

Abu Bakr Al-Warraq menyatakan, “Ada 3 aspek keyakinan, keyakinan akan pengetahuan, keyakinan akan bukti dan keyakinan penyaksian.”

Abu Sa’id Al-Kharraz menjelaskan, “Pengetahuan adalah apa yang membuatmu dapat bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak.”

Ibrahim Al-Khawwas berpendapat, “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makanan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu melemparkan kembali jalaku ke air. Kemudian masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aku melemparkan jalaku ke air, lalu menunggu. Kemudian terdengar sebuah suara ghaib berseru, “Apakah engkau tidak dapat mencari penghidupan selain dengan cara menangkap mereka dengan berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu mengoyak-ngoyak jalaku dan berhenti mencari ikan.”

AR-RISALAH BAB 18: SYUKUR


Diriwayatkan oleh Abu Khabab, berkata Atha’, “Aku bersama ‘Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah ra dan berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Ibunda lihat pada Rasulullah saw.” Beliau menangis dan bertanya, “Apakah yang beliau lakukan, yang tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidurku [atau mungkin Aisyah berkata ‘di bawah selimutku’] hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa waktu, beliau berkata, “Wahai puteri Abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku.” Aku menjawab, “Saya begitu senang berdekatan dengan tuan, tapi aku mengizinkanmu.” Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat bekas air dan berwudhu’ dengan mencucurkan banyak air, lalu solat. Beliau mulai menangis hingga air matanya menitis ke dadanya, kemudian beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis. Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk solat Subuh. Aku bertanya kepada beliau, “Apakah yang menyebabkan tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa tuan, baik yang dahulu mahupun kemudian?” Beliau menjawab, “Tidakkah aku mesti menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku,


إِنَّ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّہَارِ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَـٰبِ 

Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan pada pertukaran malam dan siang, ada tanda-tanda (kekuasaan, kebijaksanaan dan keluasan rahmat Allah) bagi orang-orang yang berakal. (190)

Allah SWT bersifat menysukuri (Asy-Syakur) dalam erti menyebar luaskan anugerah-Nya, bukan dalam erti harfiah, Ini bererti bahawa Dia memberi ganjaran bagi sifat bersyukur. Kerananya, Dia telah menetapkan bahawa balasan bagi sikap bersyukur adalah sikap bersyukur pula (di pihak-Nya) sebagaimana telah dinyatakan-Nya

وَجَزَٲٓؤُاْ سَيِّئَةٍ۬ سَيِّئَةٌ۬ مِّثۡلُهَا‌ۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُ ۥ عَلَى ٱللَّهِ‌ۚ إِنَّهُ ۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّـٰلِمِينَ 

Dan (jika kamu hendak membalas maka) balasan sesuatu kejahatan ialah kejahatan yang bersamaan dengannya; dalam pada itu sesiapa yang memaafkan (kejahatan orang) dan berbuat baik (kepadanya), maka pahalanya tetap dijamin oleh Allah (dengan diberi balasan yang sebaik-baiknya). Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berlaku zalim. (Asy-Syura: 40)

Dikatakan bahawa bersyukurnya Allah adalah melalui pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit.

Bersyukurnya seorang hamba kepada Allah SWT adalah penghargaan kepada-Nya dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan oleh-Nya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah SWT kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan si hamba itu kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah SWT, sedangkan kebaikan Allah adalah dengan memberikan rahmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan dia mampu menyatakan syukur kepada-Nya.

Syukur dibahagi kepada menjadi: syukur dengan lidah, yang berupa pengakuan atas anugerah dalam darjat kepasrahan; syukurnya tubuh dan anggota-anggota badan, yang beerti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukurnya hati , dengan mengundurkan diri ke titik syahadah dengan terus-menerus melaksanakan penghormatan. Dikatakan bahawa kaum terpelajar bersyukur dengan lidah mereka, kaum pecinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum arifin (ahli makrifat) bersyukur dengan ketabahan mereka terhadap-Nya di dalam setiap keadaan mereka.

Al-Junaid berpendapat, “Ada kekurangan dalam bersyukur, kerana manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi dia sedar akan bahagian untuk dirinya di saat ia juga sedar akan Tuhan.”

Abu Utsman menyatakan, “Bersyukur adalah mengakui ketidakmampuan diri untuk menjadi orang yang bersyukur.”

Dikatakan, “Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur sahaja. Ini disebabkan engkau menganggap bahawa beryukurmu datang kerana Dia telah memberikan kemampuan kepadamu untuk itu, dan bahawa tindakan-Nya itu termasuk anugerah yang paling besar terhadapmu. Jadi engkau bersyukur atas kebersyukuranmu, dan kemudian engkau bersyukur terhadap bersyukurmu atas kebersyukuranmu, dan seterusnya berlan-ulang secara tidak terhingga.”

Dikatakan, “Bersyukur adalah menisbatkan augerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan.” Al-Junaid mengatakan, “Bersyukur adalah bahawa engkau tidak memandang dirimu layak menerima anugerah.”

Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur (syakur) adalah dia yang bersyukur atas apa yang tidak ada.” Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) berterima kasih atas pemberian, manakala orang yang sangat bersyukur (syakur) berterima kasih kerana tidak diberi.”

Asy-Syibli menjelaskan, “Syukur adalah kesedaran akan Sang Pemberi Anugerah, bukan kesedaran akan anugerahnya.”

Abu Utsman menyatakan, “Kaum awam bersyukur kerana diberi makan dan pakaian, sedangkan kaum terpilih bersyukur atas makna-makna yang memasuki hati mereka.”

Dikatakan bahawa Daud as bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu sedangkan tindakan-Mu bersyukur itu sendiri adalah anugerah dari-Mu?” Allah mewahyukan kepadanya, “Engkau baru sahaja bersyukur.” Dikatakan bahawa Musa as mengatakan dalam dia munajatnya, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan tangan-Mu, dan Engkau telah begin dan begitu [baginya]. Bagaimana dia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab, “Ia mengetahui bahawa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah tanda syukurnya kepada-Ku.”

Seseorang mendatangi Sahl bin Abdullah dan mengatakan kepadanya, “Seseorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang-barangku!” Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah SWT. Seandainya seorang pencuri [yakni syaitan] memasuki hatimu dan merosak imanmu kepada tauhid, apa yang akan kau perbuat?”

Diaktakan, “Syukurnya mata adalah bahawa engkau menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya telinga adalah engkau menyembunyi cacat yang kau dengar tentang dia.”

Dikatakan juga, “Syukur adalah menyibukkan diri dalam memuji-Nya kerana Dia telah memberimu apa yang kau tidak layak menerimanya.”

Al-Junaid menuturkan, “Manakala As-Sari berkehendak untuk mengajarku, dia biasanya mengajukan sebuah persoalan kepadaku. Suatu hari, As-Sari bertanya kepadaku, “Wahai Al-Junaid, apakah syukur itu?” Aku menjawab, “Syukur adalah jika tidak satu bahagian pun dari anugerah Allah SWT digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana engkau sampai kepada [pengetahuan] ini? Aku menjawab, “Dengan duduk-duduk bersamamu.”

Diceritakan bahawa Al-Hassan bin Ali pernah bergayut pada sebuah tiang dan bermunajat, “Tuhanku, Engkau telah memberkati aku, namun tidak Kau dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Kau dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak menahan anugerah-Mu kerana aku tidak bersyukur, dan Engkau tidak memanjangkan kersengsaraan kerana aku tidak bersabar. Tuhanku, hanya ada kemurahan dari Yang Maha Pemurah.”

Dikatakan, “Jika tanganmu tidak dapat kau gunakan untuk meraih pahala, maka engkau mesti lebih banyak mengucap syukur dengan lidahmu.”

Juga dikatakan bahawa ketika Idris as memperoleh khabar pengampunan, dia memohon diberi panjang umur. Ketika dia ditanya tentang permohonan itu, dia menjawab, “Agar aku dapat bersyukur kepada-Nya, kerana sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk memperoleh ampunan.” Kemudian seorang malaikat menebarkan sayapnya dan membawanya ke langit.

Diceritakan bahawa salah seorang nabi Allah berjalan melewati sebuah batu kecil yang memancarkan air. Hal ini menghairankan nabi tersebut. Kemudian Allah menjadikan batu itu berbicara kepadanya, katanya, “Ketika aku mendengar Allah SWT berfirman

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari Neraka yang bahan-bahan bakarannya: Manusia dan batu (berhala); Neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya); mereka tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)

Aku menangis kerana takut”. Nabi itu kemudiannya mendoakan agar Allah melindungi batu itu dari api neraka, dan Allah mewahyukan kepadanya, “Aku telah menyelamatkanya dari neraka.” Maka nabi itu lalu meneruskan perjalannya. Ketika dia kembali melewati batu itu, dia melihat air menyembur darinya seperti sebelumnya, yang membuatkannya hairan. Sekali lagi Allah menjadikan batu itu dapat berbicara, dan nabi itu lalu bertanya, “Mengapa engkau masih menangis sedangkan Allah telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, “Sebelum ini, aku menangis kerana takut dan sedih, sekarang aku menangis kerana kerana syukur dan gembira.”

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَٮِٕن شَڪَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡ‌ۖ وَلَٮِٕن ڪَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ۬ 

Dan (ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahu: Demi sesungguhnya! Jika kamu bersyukur nescaya Aku akan tambahi nikmatKu kepada kamu dan demi sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azabKu amatlah keras. (Ibrahim: 7)

Diceritakan bahawa Allah SWT menyampaikan wahyu kepada Musa as, “Aku melimpahkan rahmat kepada hamba-hambaKu; mereka yang dicuba dengan penderitaan mahupun mereka yang dihindarkan darinya.” Musa bertanya, “Mengapa pula terhadap mereka yang dihindarkan dari penderitaan?” Allah SWT menjawab, “Dikeranakan kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari penderitaan itu.”

Dikatakan, “Pujian kepada Allah (Al-Hamd) adalah untuk nafas, dan syukur untuk anugerah pancaindera.”

Dalam sebuah hadis sahih dikatakan bahawa, “Orang pertama dipanggil masuk syurga adalah orang yang bersyukur kepada Allah dalam setiap keadaan.”

Dikatakan pula, “Pujian adalah untuk apa yang tidak diberikan, dan syukur untuk apa yang telah dilakukan.”